Kamis, 25 September 2014

Balekambang, Begitulah orang menyebutnya

Pantai Balekambang
Pantai Balekambang, ya begitulah orang menyebutnya. Selalu menjadi misteri bagi saya. Seperti apakah pantai itu?, jauh hari sebelum itu ramai-ramai membicarakan tentang keindahan pantai Balekambang. Tak pelak waktu seakan ingin dipangkas untuk akhir bulan.  Bayangan itu seminggu terakhir selalu menyelimuti ku.
Perjalanan pun saya mulai dari Kamal-Bangkalan menempuh jarak sekitar 120 km untuk mampir kerumah teman di daerah Tirto-Malang. Waktu tempuhnya kira-kira sekitar 3-3,5 jam menggunakan roda dua dengan suasana lancar. Sesampai di kediaman Mbak Ulfa (kakak Ubed), terlihat suasana ruangan sepi. Malamnya berunding, persiapan untuk mengunjungi Pantai Balekambang. Tempat biasa untuk melakukan diskusi adalah di belakang rumah mbak Ulfa (Gazebo Multi fungsi. hehe). Segala keperluan dan bekal telah kami siapkan dalam tas ransel. Terutama isi dompet. Kamera dan video dengan baterai yang full siap menemani kami mengabadikan keindahan pantai.

Sang Kuda Besi
Esok pun tiba. kami berempat (Brekele, Sandi, Ubed, dan saya hehe) bersepeda motor berangkat dari rumah Mbak Ulfa di kawasan Tirto - Malang, menuju Pantai Balekambang. Kali ini Brekele yang menjadi pemandu jalan dalam touring dadakan kali ini.
Setelah melewati Kota Malang, kami langsung menuju arah selatan. Tak perlu bingung mencari arah menuju pantai ini, ada banyak petunjuk arah menuju Pantai Balekambang.
 Dari Malang-Pantai Balekambang sekitar 65 Km ditempuh sekitar 2,5 jam, kami tidak melewati jalur biasanya yang melewati Gondanglegi, tapi melewati Jalur Alternatif yaitu daerah Bendungan. karena salah satu dari rombongan kami pernah melewati jalur ini yaitu Brekele. Jalur ini lebih sepi dan enak untuk menikmati perjalanan. Meski cukup lama, semua tidak akan terasa karena dalam perjalanan banyak disuguhi pemandangan bukit, gunung, hutan dan jalan naik turun.
Tanaman tebu  nampak di kanan kiri jalan, bergantian dengan pohon-pohon Jati yang rindang menemani perjalanan kami.
Sampai di Pantai Balekambang
Akhirnya, setelah menempuh waktu sekitar 2,5 jam kamipun sampai di pintu masuk. “Selamat datang di wisata pantai Balekambang”, begitulah tertulis dipintu masuk yang membentang sepanjang jalan. Suasana angin, ombak pantai pun sudah terasa di pelataran pantai. Walaupun bukan weekend, pengunjung terlihat melimpah. Mungkin karena libur sekolah. Kami pun segera mencari parkir motor. Terlihat pengunjung menyebar ke setiap lokasi pantai. Ada sebagian yang bermain air, pasir, foto-foto dan ada juga sambil makan di warung-warung yang tersedia di pinggir pantai.
Langkah ku 
Salah satu sisi Pantai Balekambang
Tak sia-sia perjuangan kami menempuh perjalanan yang melelahkan. Pantai Balekambang berparas cantik nan eksotis, Pasir putih, dan pure, membuat rasa lelah kita seakan-akan hilang seketika. 
Inilah Pasir dan Ombak Pantai Balekambang

Kami bergegas ke pantai untuk menikmati suasana dan pemandangan yang disuguhkan oleh Balekambang ini.   Balekambang lebih unik dari pantai wisata lain. Tidak hanya hamparan pasir putih  dan garis pantainya yang  panjang. masih Ada karang-karang di beberapa titik. Dan yang paling membedakan adalah disini ada ”Tanah Lot” yang katanya menurut cerita digunakan untuk ritual agama. Hampir sama dengan Tanah Lot di Bali (walaupun belum pernah ke Tanah Lot di Bali hehe). Tidak dapat dipungkiri, Balekambang  sangat menakjubkan. Terlihat semua Pengunjung nampak sangat menikmati pemandangan elok di Balekambang ini.
Oh ya!, Di kawasan pantai juga tersedia berbagai macam fasilitas. Mushola, toilet, tempat beristirahat, gerobak jajanan, selain warung makanan dan toko suvenir. Hanya saja tidak disediakan tempat sampah yang memadai, sehingga masih banyak pengunjung yang seenaknya membuang sampah sembarangan. Harga makanan di warung relatif cukup murah, rata-rata Rp5000 rupiah per porsi. Kalau kurang ya bisa mesen 2 porsi. he
Background Pulau Ismoyo

Bersama kita bisa

Setelah berjalan menyusuri pantai, akhirnya tiba di  ujung barat. Terdapat tiga  pulau kecil yang menambah keunikan pantai. Menurut petugas, nama pulau  itu adalah Pulau Ismoyo (terdapat pure atau ini yang mirip dengan tanah lot di Bali), Pulau Anoman dan Pulau Wisanggeni. Untuk pergi ke Pulau Ismoyo terdapat jembatan penghubung dengan pantai.  Kami melintas juga di atas jembatan menuju Pulau Ismoyo. Sambil lalu membaca prasasti-prasasti yang tertulis disana.
Pemandangan Pulau Anoman, Pulau Ismoyo, Pulau Wisanggeni
Perjalanan menuju pulau Ismoyo
Jembatan menuju Pulau Ismoyo
Sisi sebelah timur pulau ismoyo
Pure di pulau Ismoyo
Tak terasa hari sudah siang rupanya. Perut kami terasa lapar. Kami beristirahat di bawah pohon rindang dekat pure ala Pantai Balekambang itu. Sambil menikmati es degan, pentol dan mie ayam. Mantap! Seru ku dalam hati.
Menikmati Es Degan dibibir Pantai

Setelah puas berpantai dan berfoto jeprat jepret, kami pun meninggalkan pantai Balekambang.
Ubed, Sabar, Sandi, Sofi

Tips yang mahu ke Pantai Balekambang
  1. BiayaPantai Balekambang Rp 7.000/orang dan Rp 10.000/mobil. mungkin sekarang udah naik
  2. Disini gak ada sinyal hape, jadi yah persiapan kasih tau ke orang tercinta, orang rumah gak ada sinyal. Sudah pada tahu kan gimana kalau tidak ada kabar? he
  3. jika melewati daerah bendengan isilah BBM terakhir di SPBU daerah kepanjen kiri jalan, karena setelah itu sekitar 40-50KM tidak ada lagi SPBU
  4. bawa camera untuk dokumentasi
  5. bagi pengendara motor yang sering ngantuk (Brekele) jangan dipaksain menyetir, dan alangkah baik nya carter mobil

Minggu, 21 September 2014

Sang Photografer


tetap Bersama
Saat fajar mulai menyapa, pemuda itu langsung sigap membawa camera dan Tripod untuk menanti mentari pagi. Hawa dingin dan rasa lelah tak menghalangi nya untuk berkarya. Dengan antusias!, Beranjak dari dalam tenda, tepat disebalahnya sambil lalu menyeting camera. Seakan tiap moment itu tidak untuk dilewatkan.
Setting tempat, lokasi, posisi mulai bergantian. Tak lupa, dibawanya berbagai keperluan pendukung guna menghasilkan karya se sempurna mungkin. Jepretan demi jebretan foto percobaan pun terus diambil. Hanya saja kondisi ini tak berlangsung lama. Karena setiap waktu yang berlalu mentari seakan mengejar. Kedatangannya diantara keheningan pagi tidak dapat diperlambat ataupun dipercepat.
Satu persatu teman-teman mulai keluar dari tenda. Ada yang masih berbalut sarung dan ada pula yang masih tidur. Entah apa yang membuatnya!, semangat nya kalah oleh sang Photografer. Kanan kiri, atas bawah. Bagaimanapun, demi hasil yang maksimal dia lakukakan.
Tak berselang lama, mentari dengan gagah sudah muncul diantara Pegunungan Tengger dan Semeru. Senyumnnya menyapa pagi kami, kabut pun perlahan mulai sirna. “ini moment yang tidak boleh terlewatkan!” sahut sang Photografer. Bergantain teman-teman berfoto. Ada yang selfie, ada juga yang bersama-sama.
Lain tempat, lain pula momentnya. Itu terasa bagi sang Photografer. Kadang dia berlari didepan, kadang tertinggal dibelakang.
Bagi sang Photografer, lelahpun seakan tak berarti demi hasil terbaik. Senyum  kebersamaan, kekeluargaan, kekompakan saat melihat hasil foto. Seakan semua terbayar lunas. 

Jumat, 12 September 2014

Perempuan kecil dalam Keheningan Panderman



Perempuan Kecil

Waktu terasa lambat saat ini masih jam menunjukkan pukul 01.15 WIB, andai waktu bisa diputar! berharap mentari segera muncul diantara gugusan pegunungan Tengger. Nuansa dingin menyelimuti heningnya malam. Hanya udara dan angin saling bertegur sapa dengan pohon dan dedaunan sekitar tenda. “Kapan pagi, kapan pagi, mentari cepatlah datang!” hal inilah yang terlintas dalam fikiran ku.

Sepertiga malam terakhir tenda-tenda mulai sepi, sebagian istirahat dan tertidur pulas, sebagian berjaga-jaga dan sebagian lagi menghangatkan badan dengan meletakkan tangan atau kaki disekitar api.

Tanpa canda gurau suasana awalnya berjalan hening. Keheningan terkoyak ketika langkah perempuan itu mendekat dari samping tenda kami. Kemudian perempuan kecil itu  ikut bergabung membuat lingkaran di dekat api. Entah apa yang membaut gadis kecil ini bangun, kedinginan!, keramaian!, atau entah apalah.

Serentak perempuan kecil itu menjadi aura baru untuk mengisi keheningan malam. Perempuan kecil itu selalu menjadi inspirasi untuk membuka pembicaraan. Cemilan khas pedas menjadi teman utama dalam pembicaraan itu. Suasana tidak sepi lagi, saling cerita mulai pengalaman pribadi, kejadian menarik sehingga perempuan kecil itu menjadikan malam di Panderman menjadi lebih hidup tanpa keheningan. Sampai tidak terasa waktu sepertiga malam terlewati.

Selasa, 09 September 2014

Sepenggal kisah ku di Gunung Panderman-Batu



Kita untuk slamanya Panderman-Batu

Persiapan matang, guna menakklukan gunung panderman (dengan tinggi 2045 meter dpl) sudah aku rencakan jauh-jauh hari sebelumnya. Subuh, 29 Agustus 2014 packing-packing sambil menghubungi Salsul, Nurel dan Ase dan Brek(mungkin terlelap tidur he). Yups, persiapan pun selesai sambil mengantarkan yang lain ke Halte Bus (emang ada Halte? ho) aku dan om Nurel berangkat naek motor, tapi sebelumnya pamit dan minta izin dulu kepada kedua orang tua. Hehe. Mengingat temen-temen yang laen naek bus, santailah kami mengendarai sepeda motor sambil menikmati pantai dan hutan yang ada disamping kanan-kiri jalan. Sambil kontak-kontakan dengan teman-teman yang di bus tak terasa sudah sampai di SURAMADU “guman ku dalam hati, eh sudah separo jalan ke Batu” hehe.
Skip – sampai di Gempol-Pasuruan jam 09.30 WIB kita berhenti sejenak buat beli minum+roti pengganjal perut. Daerah ini seperti tak asing lagi buat ku. Sambil mengontak temen-temen yang naik BUS kami melanjutkan perjalanan, takut terlewat jumatan. Hehe. Akhirnya saya sampai di daerah terminal Arjosari sekitar 10.50 WIB, sambil muter-muter untuk cari masjid yang pas buat jumatan. Puter mulai muter akhirnya sampailah saya di Masjid yang berada didaerah perumahan Blimbing. Alhmadulilah jamaah masih terlihat sepi, kita bisa mempersiapkan diri untuk jumatan dengan baik. Setelah selesai jumatan kita bergegas untuk berkumpul dengan teman-teman yang naik BUS diterminal Arjosari (terminal Kab. Malang). Sambil menunggu Ubed dkk menjemput kami. Sambil menunggu, kami saling bercerita pengalaman dalam perjalan. Antara yang naik BUS dengan yang naik motor. Tidak lama kemudian Ubed dkk. Datang Untuk menjemput kami, segeralah kami bersama menuju kontraan brek.
Sampai disana kami membantu membersihkan kontraan brek & Rudi yang kotor, maklum sejak liburan ini masih baru dan pertama kali di tempati. Sorenya kami semua berangkat kerumah Mbak Ulfa  (kakak Ubed) di daerah Tirto. Sambil cangruan dibelakang rumah, yang tepat terdapat taman dan Gazebo kami membicarakan semua perlengkapan apa saja yang dibutuhkan untuk pendakian besok. Sambil lalu mengecek perlengkapan satu persatu. Agar stamina dan fisik kami 100%, kami sepakat untuk tidak begadang terlalu malam. Kami pun tidur sekitar jam 22.30 WIB.  Oh ya lupa, sempat cemas karena Ida (anggota perempuan) dari team kami tidak bisa ikut karena sibuk dengan skripsi nya, ini berimbas pada Diyah yang dari Mojokerto tidak mahu ikut kalau tidak ada perempuannya. 

Depan Rumah Mbak Ulfa
Esok pun tiba, kami belanja semua kebutuhan untuk pendakian di Toko Nenek nya haha. Sambil menunggu Shalat Dzuhur kami merapikan semua barang bawaan di tas masing-masing. Jam 13.00WIB kami berangkat, dan janjian bertemu dengan rombongan dari Mojokerto di daerah terminal Batu. Ehhh. Ternyata kami menunggu sedikit lama, sambil mengurangi kebosanan sambil muter-muter di daerah Jatim Park 2 dan Eco green Park. Lama menunggu, akhirnya Diyah dan mas Adi datang sekitar jam 14.30WIB.  setelah bersalaman, kami pun berangkat menuju Dukuh Toyomerto Desa Pasanggrahan yang merupakan satu-satu nya jalur umum yang digunakan untuk mendaki. Sebelum sampai desa Pasanggrahan, Adzan asyar berkumandang, kami pun mencari masjid terdekat untuk shalat. Ternyata mbak Anik dan Mbak Ummi juga ikut, dan masih dalam perjalanan dari Mojokerto. Sambil menunggu dimasjid sampai laper, temen-temen ada yang membeli makanan ringan da cilok didepan masjid. Ya!, sekitar sejam kemudian mbak anik dan mbak ummi datang dengan dijemput Diyah. Kami pun melanjutkan perjalanan dengan harapan tidak mendaki di malam hari.
Tak seperti yang dibayangkan!, jalan menuju Desa Pasanggrahan sungguh ekstrim, ada motor dari kelompok kami yang tidak kuat dan harus istirahat untuk mendinginkan mesin. Sekitar jam 16.30WIB kami sampai di pos I, yaitu tempat pengecekan dan penitipan sepeda motor. Dengan biaya parkir motor @ Rp 5.000, dan tiket pendakian @Rp 3.000. setelah selesai mengurus semua administrasi kami berdoa dan foto-foto untuk memulai pendakian. oh ya, jumlah anggota kami sebanyak 11 orang

Foto saat Pengecekan dan mempersiapkan administrasi
Narsis saat pengecekan

Tepat jam 17.00WIB kami mulai pendakian, ada yang bernyanyi ditemani semilir angin pegunungan yang sejuk dan suara gemercik air dikanan dan kiri jalur pendakian. Sekitar 30menit perjalanan kami sampai diitempat pengisian air terkahir (sekitar 1330 meter dpl) dimana ini merupakan tempat terakhir pengisian air bersih, karena setelah ini tidak akan lagi dijumpai tempat pengisian air bersih. Disekitar banyak perkebunan buah dan bunga yang dimiliki warga, menambah ciri khas nuansa pegunungan. Setelah air terisi kami melanjutkan perjalanan menuju pos II yaitu Latar Ombo (1.600 meter dpl) dengan jarak te,puh sekitar 1 jam tanpa istirahat. Jalur menuju latar ombo ini masih relatif enak, seperti jalan di kampung halaman saya. Hehehe.
Kanan kiri seperti jalan di Samping rumah
 
Foto penyiapan formasi untuk mengutamakan perempuan

Saling menjaga adalah tanggung jawab bersama. Hari mulai gelap, kami pun menyiapkan senter. Setelah berjalan cukup lama, akhir nya sekitar jam 18.15 WIB kami sampai di pos II yaitu latar lombo. Sejenak kami beristirahat disini melepas lelah. Ada sebagian pendaki yang bermalam disini, sambil foto-foto narsis dulu.
SunSet Latar Ombo

Selang beberapa saat kami melanjutkan perjalan menuju pos III yaitu Watu Gede (1.730 meter dpl). Konon diberi mana watu Gede karena banyak batu-batu besar yang berhamparan disini. Jarang pendaki bermalam disini, karena selain tempat yang tidak begitu datar hembusan angin yang kencang juga jadi faktornya. 
Foto Watu Gede (saat Turun)
Jalur menuju Watu Gede ini sudah melai menanjak, dan yang paling menyebalkan adalah debu. Bahu membahu satu sama lain, sambil menikmati tiap langkah perjalanan. Tiap bertemu batu besar kami bercanda dan berprasangka kalau itu adalan Pos III. Rintangan mulai hadir satu persatu, pohon yang tumbang, jalan terjal, berbatu, licin. Akhirnya sekitar jam 20.00 WIB kami sampai di Watu Gede. Wajah sumbringah bercampur senang terpancar dalam diri masing-masing.

Respon
Sembari memulihkan tenaga, dari pos ini perjalanan menuju puncak akan melewati hamparan ilalang (tahu pas besoknya, haha) dan tanjakan-tanjakan yang lebih ekstrim sehingga sangat menguras tenaga. Setelah diskusi, menanyakan satu persatu kesiapan. Serentak menjawab “Siapp!”

mbak kacamata. Trims buah pir nya

Ok. Perjalanan kami lanjutkan, formasi tetap seperti semula. Harus ada yang menjaga perempuan dalam perjalan. Disini debu semakin terasa, dan udara sudah mulai terasa dingin. Jalan berbelok kanan, kiri kami lewati akhirnya sampai di Puncak Gunung Panderman yang disebut Puncak Basundara (2045 meter dpl). Tepat pukul 21.00 WIB. Serentak berteriak dan puji syukur tidak ada hambatan  dalam perjalanan. Dipuncak ternyata kelompok kami yang datang pertama, jadi kami dengan leluasa untuk membangun tenda yang strategis untuk melihat Sun Rise. Yapz. Kami membuat tenda disebelah timur. Tenda dibuat berdampingan laki-laki dan perempuan. Kami pun mulai membuat api unggun sambil lalu membuat kopi dan mie.
Perjalanan yang menyenangkan

Puncak Panderman

Sambil ngobrol, cerita, bernyanyi KAMI HABISKAN MALAM MINGGU DI PUNCAK PANDERMAN. Terlihat lampu-lampu dari kota Batu-malang. Kami bergantian tidur selama 90 menit, dan bergantian menjaga pos 2 orang. Hal ini mengantisipasi takut terjadi hal yang tidak diinginkan.  Sambil menunggu subuh terasa begitu lama. Tak sabar menanti Sun Rise. Terbayar sudah lebih dan lesu kami dengan hamparan panorama indah yang Ilahi, indahnya- katapun tak sanggup tuk berucap! Sempurna.
Foto Sun Rise

Hamparan pegunungan tengger

Sun Rise
      Terpampang didepan mata Gunung Arjuno-Wilirang dan gugusan pegunungan Tengger Bromo dan Semeru. Kami pun menikamti indahnya pagi, sambil menyiapkan cemilan untuk mengganjal perut. Hehe.
Pemandangan kota Batu

Add caption


Gunung Arjuno-Wilirang

Sekitar jam 07.00 WIB kami mulai merapikan tenda, sambil doa bersama untuk melanjutkan turun gunung. Tak lupa, secara simbolis kami mengibarkan pusaka bendera merah putih (mumpung nuansa agustusan hehe). 
Pengibaran bendera merah putih

Kengan Bersama

Respon selalu dihati

All ting tong

Dalam perjalanan pulang tebing kiri dan kanan terlihat ekstrim (untung jalannnya malam, jadi tak terlihat). Ternyata perjalanan turun lebih cepet. 

Jalan Pulang

Sekitar jam 10.00 WIB kami sampai di pos I. Kami segera telunjur, ada yang mengambil motor dan ada pula yang membeli penthol. Akhirnya kami pisah dijalan dalam perjalanan pulang. Diyah dan Mas Adi langsung pulang ke Mojokerto, sedangkan mbak anik dan mbak Ummi ikut rombongan kita ke Malang. Sampai di rumah mbak Ulfa kita balas dendam. Makan yang banyak, mandi, shalat langsung tidur. Ini semua seperti mimpi. Kisah ku di gunung panderman
Perjalanan yang menyenangkan dengan saudara-saudara respon, Bersambung
Sahabat!, Aku ada untuk mu bukan hanya saat ini atau kemarin, senang atau tertawa. tapi kita bersama untuk selamanya.

Pesan:
  1. Persipkan semua perlengkapan camping, dan yang utama pamit dan minta doa kedua orang tua
  2. Siapkan stamina 100% fit
  3. Usahakan bawa masker
  4. Bekal secukupnya (tergantung makannya J)
Anggota:
iril       : Petua Tim
Ubed    : Fotografer dan Donatur
Rudi     : Donatur
Salsul   : Perlengkapan 1
Nurel    : Perlengkapan 2
Brek     : Keamanan = Eko polisi
Ase      : Humas = bukan cuman Masyarakat hehe.  
Adi      : Wakil Admiral
Diyah   : Sie konsumsi
Anik     : Bendahara
Umii    : sie Konsumsi