1. Realitas dapat di manipulasi
Tidak semua tayanag dari
televisi adalah cerminan suatu realitas kehidupan kongkrit di tengah masyarakat
(terutama iklan, sinetron,
berita-berita selebritis), namun kebanyakan adalah hasil manipulasi dari
beragam kepentingan dari kelas-kelas dominan atau institusi. Hal
ini berpengaruh terhadap pembentukan mental masyarakat, bahkan menciptakan
persepsi dan sikap pemirsa. Apa yang disiarkan televisi, seakan di-iya-kan oleh
pemirsanya. Masayarakat lebih percaya dan terbius oleh ceritera di sebagian
besar sinetron dan infotainment yang juga lebih bersifat materialis,
hedonis dan pragmatis dari pada realitas yang sebenarnya. Banyak
segala aktifitas yang kita perbuat entah itu kebaikkan atau keburukkan
bersumber dari apa yang pernah ditonton lewat televisi. kehidupan dan cerdas
menanggapi kuatnya suatu permasalahan. Segala macam dampak yang
ditimbulkan dari media televisi serta berbagai macam karakter terkait haruslah
sadar dan jernih melihatnya.
Apa
yang dapat dilakukan oleh televisi, dengan kekuatan yang luar biasa, adalah
memobilisasikan emosi untuk meyakini suatu peristiwa apa yang sudah diasajikan
dalam acara televisi baik, padalah suatu peristiwa yang terjadi di masyarakat
dan disiarkan melalui tayangan televisi, sebetulnya bukanlah suatu realitas
yang sebenarnya seperti ketika kita menangkap obyek tepat di depan mata.
Deretan ribuan bahkan jutaan frame-frame dari realitas itu merupakan
sesuatu yang sudah diolah dan dikemas sedemikian rupa hingga pemirsa tanpa
sadar bahwa tayangan yang dilihatnya itu adalah suatu kebohongan yang
tersembunyi.
Peristiwa baik yang
bebar-bernar terjadi maupun realitas yang direkayasa, lewat layar-layar kecil
yang berfungsi sebagai jendela dunia, disajikan secara visual disertai dengan
narasi atau sarana audio lain terhadap peristiwa yang dipotret. Dengan demikian
konsekuensinya, masyarakat awam akan sangat mudah mencerna/menyerap
(dipengaruhi) abstraksi tingkat pertama yang disajikan oleh televisi.
2. Media
Audio visual dan Perubahan sosial
Informasi yang diperoleh
melalui siaran televisi dapat mengendap dalam daya ingatan manusia lebih lama
dibandingkan dengan perolehan informasi yang sama tetapi melalui media lain.
Alasannya karena informasi yang diperoleh melibatkan dua indera yaitu
pendengaran (audio) dan penglihatan (visual) sekaligus secara stimultan pada
saat yang bersamaan. Kemudian gambar yang disajikan melalui siaran televisi
merupakan pemindahan bentuk, warna, ornamen, dan karakter yang sesungguhnya
dari objek yang divisualisasikan
ketika media
televisi telah menjadi salah satu media yang menyediakan diri selama 24 jam
untuk memberikan hiburan di tengah-tengah keluarga. Setiap sajian acara yang
ditayangkan, senantiasa dikemas dalam unsur hiburan. Bukan hanya tayangan
sinetron, iklan, bahkan pemberitaan (news) tak lepas dari unsur hiburan.
Bagaimana berita kriminal dan mistik menjadi salah satu tayangan di berbagai
stasiun televisi yang mampu menghipnotis pemirsa untuk tetap bertahan di
hadapan layar televisi.
program-program yang di berikan pada masyarakat malah bersifat
mengubah bahkan merusak tatanan nilai yang terdapat dalam masyarakat.
Program-program seperti sinetron yang ceritanya menandung unsur-unsur yang
merugikan seperti, pembangkangan terhadap orang tua, kekerasan dalam rumah
tangga, keserakahan, hingga tindakan-tindakan anarkis. Adegan-adegan dalam
sinetron inilah yang justru banyak ditiru oleh masyarakat terutama anak-anak
yang belum dapat memilah mana hal yang patut dan tidak untuk di contoh.
Selain itu televisi mulai
mengambil alih sebagian fungsi orang tua, sampai ada yang menyebutkan televisi
sebagai electronic baby sitter. Misalnya, kebiasaan mendongeng
ketika anak hendak tidur sudah hilang. Kemampuan orang tua, terutama ibu,
sebagai story teller (pendogeng) pupus sudah. Apalagi selama ini
pun sudah mulai ada pergesaran, terutama di kalangan menengah ke atas, karena
yang meninabobokkan anak-anak bukan lagi ibunya tapi sudah diambil-alih oleh
pembantu.
3. King, media televisi
Dengan daya hipnotisnya yang
nampak dari kekuatan televisi, penetrasi yang hampir tanpa batas, dan
efektivitas media audiovisual ini, menjadikan televisi pada posisi yang sangat
strategis, konsekuensi logikanya adalah munculnya berbagai kepentingan yang
saling berdesakan, baik politik, bisnis, pendidikan, hiburan dll. Ada satu hal
yang menjadi titik temu dari heterogonitas kepentingan, yaitu promosi nilai.
Walaupun beragam tayangan yang disajikan untuk mewakili kepentingan yang
berbeda, tapi itu cuma "bungkus" sedangkan isinya tetap; Nilai. nilai
yang dipromosikan adalah materialisme, hedonisme, dan pragmatisme.
Mengutip Kolakowski, jika mau
melakukan promosi nilai ada tiga faktor yang harus diperhitungkan. Pertama;
kekuasaan, kedua; uang, dan ketiga; kata atau bahasa. Pada faktor ketiga
tentang promosi nilai dari Kolakowski inilah, televisi menduduki perannya.
Sedangkan siapa yang menjadi "raja" adalah mereka yang memiliki
kekuasaan dan uang-lah yang punya kesempatan menguasai kata/bahasa, menguasai
televisi.
4. Menggambarkan
4. Menggambarkan
program kuliner di televisi dapat menggambarkan kondisi sebenarnya di
masyarakat dapat dilihat pada teori kultivasi. Hal ini dapat terjadi karena televisi sebagai
media yang menjadi sumber informasi bagi masyarakat sekarang, sehingga televisi
menjadi media yang paling menggambarkan masyarakat dan televisi adalah bagian
yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari kita, berdasarkan teori yang terdapat
dalam ilmu komunikasi dapat dianalisa dalam kajian teori Kultivasi (Cultivation Theory).
Menurut Gerbner. yang
mengutip dari McQuail dibandingkan media massa yang lain, televisi telah
mendapatkan tempat yang sedemikian signifikan dalam kehidupan sehari-hari
sehingga mendominasi “lingkungan simbolik” kita, dengan cara menggantikan
pesannya tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia
lainnya (McQuail, 1996 : 254)
Dari semua yang telah dijabarkan diatas dapat diambil sebuah
kesimpulan bahwa sebuah fenomena yang mungkin belum banyak diketahui oleh
masyarakat Indonesia tapi menjadi sebuah gambaran masyarakat itu sendiri.
Seorang Farah Quiin yang telah menggeser Sisca Soewitomo sebagai ratu masak di
televisi Indonesia tidak hanya dilihat dari apa yang dibawakan dan
dirampilkannya di televise, namun lebih dari itu dia telah menggambarkan
bagaimana pandangan feminitas wanita di Indonesia saat ini dengan segala yang
disajikan dan ditampilkannyanya di telavisi. Tidak heran karena televisi lah
yang menjadi gambaran sebenarnya bagaimana realita yang sedang terjadi di
masyarakat.
Epilog
Aksi tersebut hendaknya dapat
memanfaatkan kekuasaan serta efektivitas televisi untuk mendorong proses
perubahan sosial dalam konteks transformasi budaya yang mengarah pada suatu
tatanan yang mempunyai nilai-nilai humanistik dan nilai-nilai luhur dan bukan
(maaf) nilai-nilai "nyinyir" seperti dipertontonkan pada sinetron,
dan tayangan infotainment lainya