Kamis, 04 November 2010

Era Postmodern : Realitas dalam kontruksi media (televisi sebagai ujung tombak)


1. Realitas dapat di manipulasi 
Tidak semua tayanag dari televisi adalah cerminan suatu realitas kehidupan kongkrit di tengah masyarakat  (terutama iklan, sinetron, berita-berita selebritis), namun kebanyakan adalah hasil manipulasi dari beragam kepentingan dari kelas-kelas dominan atau institusi. Hal ini berpengaruh terhadap pembentukan mental masyarakat, bahkan menciptakan persepsi dan sikap pemirsa. Apa yang disiarkan televisi, seakan di-iya-kan oleh pemirsanya. Masayarakat lebih percaya dan terbius oleh ceritera di sebagian besar sinetron dan infotainment yang juga lebih bersifat materialis, hedonis dan pragmatis dari pada realitas yang sebenarnya. Banyak segala aktifitas yang kita perbuat entah itu kebaikkan atau keburukkan bersumber dari apa yang pernah ditonton lewat televisi. kehidupan dan cerdas menanggapi kuatnya suatu permasalahan.  Segala macam dampak yang ditimbulkan dari media televisi serta berbagai macam karakter terkait haruslah sadar dan jernih melihatnya.
Apa yang dapat dilakukan oleh televisi, dengan kekuatan yang luar biasa, adalah memobilisasikan emosi untuk meyakini suatu peristiwa apa yang sudah diasajikan dalam acara televisi baik, padalah suatu peristiwa yang terjadi di masyarakat dan disiarkan melalui tayangan televisi, sebetulnya bukanlah suatu realitas yang sebenarnya seperti ketika kita menangkap obyek tepat di depan mata. Deretan ribuan bahkan jutaan frame-frame dari realitas itu merupakan sesuatu yang sudah diolah dan dikemas sedemikian rupa hingga pemirsa tanpa sadar bahwa tayangan yang dilihatnya itu adalah suatu kebohongan yang tersembunyi.
Peristiwa baik yang bebar-bernar terjadi maupun realitas yang direkayasa, lewat layar-layar kecil yang berfungsi sebagai jendela dunia, disajikan secara visual disertai dengan narasi atau sarana audio lain terhadap peristiwa yang dipotret. Dengan demikian konsekuensinya, masyarakat awam akan sangat mudah mencerna/menyerap (dipengaruhi) abstraksi tingkat pertama yang disajikan oleh televisi. 

            2. Media Audio visual dan Perubahan sosial
Informasi yang diperoleh melalui siaran televisi dapat mengendap dalam daya ingatan manusia lebih lama dibandingkan dengan perolehan informasi yang sama tetapi melalui media lain. Alasannya karena informasi yang diperoleh melibatkan dua indera yaitu pendengaran (audio) dan penglihatan (visual) sekaligus secara stimultan pada saat yang bersamaan. Kemudian gambar yang disajikan melalui siaran televisi merupakan pemindahan bentuk, warna, ornamen, dan karakter yang sesungguhnya dari objek yang divisualisasikan
ketika media televisi telah menjadi salah satu media yang menyediakan diri selama 24 jam untuk memberikan hiburan di tengah-tengah keluarga. Setiap sajian acara yang ditayangkan, senantiasa dikemas dalam unsur hiburan. Bukan hanya tayangan sinetron, iklan, bahkan pemberitaan (news) tak lepas dari unsur hiburan. Bagaimana berita kriminal dan mistik menjadi salah satu tayangan di berbagai stasiun televisi yang mampu menghipnotis pemirsa untuk tetap bertahan di hadapan layar televisi.
program-program yang di berikan pada masyarakat malah bersifat mengubah bahkan merusak tatanan nilai yang terdapat dalam masyarakat. Program-program seperti sinetron yang ceritanya menandung unsur-unsur yang merugikan seperti, pembangkangan terhadap orang tua, kekerasan dalam rumah tangga, keserakahan, hingga tindakan-tindakan anarkis. Adegan-adegan dalam sinetron inilah yang justru banyak ditiru oleh masyarakat terutama anak-anak yang belum dapat memilah mana hal yang patut dan tidak untuk di contoh.
Selain itu televisi mulai mengambil alih sebagian fungsi orang tua, sampai ada yang menyebutkan televisi sebagai electronic baby sitter. Misalnya, kebiasaan mendongeng ketika anak hendak tidur sudah hilang. Kemampuan orang tua, terutama ibu, sebagai story teller (pendogeng) pupus sudah. Apalagi selama ini pun sudah mulai ada pergesaran, terutama di kalangan menengah ke atas, karena yang meninabobokkan anak-anak bukan lagi ibunya tapi sudah diambil-alih oleh pembantu.

3. King, media televisi
Dengan daya hipnotisnya yang nampak dari kekuatan televisi, penetrasi yang hampir tanpa batas, dan efektivitas media audiovisual ini, menjadikan televisi pada posisi yang sangat strategis, konsekuensi logikanya adalah munculnya berbagai kepentingan yang saling berdesakan, baik politik, bisnis, pendidikan, hiburan dll. Ada satu hal yang menjadi titik temu dari heterogonitas kepentingan, yaitu promosi nilai. Walaupun beragam tayangan yang disajikan untuk mewakili kepentingan yang berbeda, tapi itu cuma "bungkus" sedangkan isinya tetap; Nilai. nilai yang dipromosikan adalah materialisme, hedonisme, dan pragmatisme.
Mengutip Kolakowski, jika mau melakukan promosi nilai ada tiga faktor yang harus diperhitungkan. Pertama; kekuasaan, kedua; uang, dan ketiga; kata atau bahasa. Pada faktor ketiga tentang promosi nilai dari Kolakowski inilah, televisi menduduki perannya. Sedangkan siapa yang menjadi "raja" adalah mereka yang memiliki kekuasaan dan uang-lah yang punya kesempatan menguasai kata/bahasa, menguasai televisi. 

  4. Menggambarkan
program kuliner di televisi dapat menggambarkan kondisi sebenarnya di masyarakat dapat dilihat pada teori kultivasi. Hal ini dapat terjadi karena televisi sebagai media yang menjadi sumber informasi bagi masyarakat sekarang, sehingga televisi menjadi media yang paling menggambarkan masyarakat dan televisi adalah bagian yang menyatu dengan kehidupan sehari-hari kita, berdasarkan teori yang terdapat dalam ilmu komunikasi dapat dianalisa dalam kajian teori Kultivasi (Cultivation Theory). Menurut Gerbner. yang mengutip dari McQuail dibandingkan media massa yang lain, televisi telah mendapatkan tempat yang sedemikian signifikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga mendominasi “lingkungan simbolik” kita, dengan cara menggantikan pesannya tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia lainnya (McQuail, 1996 : 254)
Dari semua yang telah dijabarkan diatas dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa sebuah fenomena yang mungkin belum banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia tapi menjadi sebuah gambaran masyarakat itu sendiri. Seorang Farah Quiin yang telah menggeser Sisca Soewitomo sebagai ratu masak di televisi Indonesia tidak hanya dilihat dari apa yang dibawakan dan dirampilkannya di televise, namun lebih dari itu dia telah menggambarkan bagaimana pandangan feminitas wanita di Indonesia saat ini dengan segala yang disajikan dan ditampilkannyanya di telavisi. Tidak heran karena televisi lah yang menjadi gambaran sebenarnya bagaimana realita yang sedang terjadi di masyarakat.

Epilog

Aksi tersebut hendaknya dapat memanfaatkan kekuasaan serta efektivitas televisi untuk mendorong proses perubahan sosial dalam konteks transformasi budaya yang mengarah pada suatu tatanan yang mempunyai nilai-nilai humanistik dan nilai-nilai luhur dan bukan (maaf) nilai-nilai "nyinyir" seperti dipertontonkan pada sinetron, dan tayangan infotainment lainya